Bank Syariah Indonesia (IDX:BRIS) adalah satu bank terbesar di Indonesia yang memiliki aset lebih dari 300 triliun rupiah. Saat ini menduduki peringkat ke-7 bank terbesar yang listing di BEI, bagaimanakah potensi BRIS ke depannya?
Ada yang klaim BRIS sudah tidak punya ruang untuk growth? Mari kita lihat dari sisi angka dan rasionya, data yang fundamental yang tidak bias. Dalam kesempatan ini saya akan membahas potensi pertumbuhan BRIS melalu sudut pandang Financing to Deposit Ratio atau FDR (setara dengan rasio LDR untuk bank konvensional).
Saat ini, rasio FDR untuk BRIS berada di kisaran 79.14% (per 31 Maret 2023). Rasio FDR ini menunjukkan likuiditas atau kesehatan bank BSI. Artinya setiap 100 rupiah yang disimpan di BRIS (dana pihak ketiga), 79 rupiah digunakan untuk pembiayaan atau pinjaman.
Terlalu banyak uang yang dikeluarkan (dibandingkan dengan uang yang masuk) tentu saja akan berisiko terhadap likuiditas bank. Sebaliknya, terlalu sedikit uang yang dikeluarkan, maka bank itu memiliki kinerja yang tidak maksimal karena banyak uang yang mengendap.
Menurut Bank Indonesia, rasio LDR yang ideal berada di kisaran minimal 78% dan maksimal 92%. Bank yang memiliki rasio LDR (atau FDR bagi bank syariah) di dalam rentang ini adalah bank yang memiliki likuiditas sehat.
Nah, jika kita bandingkan dengan patokan BI tersebut, BRIS ternyata memiliki FDR yang masih tergolong rendah, mendekati batas bawah minimal!
Artinya, BRIS masih punya banyak kelonggaran untuk meningkatkan pembiayaan yang keluar dengan risiko yang minimal!
Kalau pembiayaan masih bisa tumbuh, itu artinya masih ada ruang growth bagi bank. BRIS masih punya banyak kesempatan untuk meningkatkan pendanaan korporasi dan konsumen ritel dengan cukup leluasa dana kelolaannya yang besar.
Jadi kalau dilihat dari cermin FDR, statement yang kadang beredar di kalangan investor ‘BRIS has no room for growth‘ ini misleading. Kemampuan BRIS untuk tumbuh masih ada!
Bagaimana dengan BTPN Syariah (IDX:BTPS)? Bank yang satu ini sering dibanding-bandingkan dengan BRIS. FDR bank BTPS berada di kisaran 92.67% di bulan Maret 2023.
Bank yang lebih kecil memang biasanya lebih agresif dalam menyalurkan kredit atau pembiayaan agar growth-nya tetap terjaga (bahkan ada bank yang berhutang biar bisa memberikan kredit). Kelemahannya, risiko likuiditasnya lebih besar. Ruang gerak BTPS untuk meningkatkan pembiayaannya jadi lebih sempit, karena risiko yang harus ditanggung lebih besar.
Tapi, soal apakah hal tersebut buruk atau tidak saya no comment, karena saya cuma merespons statement kalau ‘BRIS has no room to grow‘. Selain itu, karena massive size difference, membandingkan BRIS dan BTPS juga tidak bisa apple to apple.
Tentu saja banyak indikator lain yang bisa kita lihat untuk menilai kemampuan bank untuk tumbuh. FDR ini mungkin bukan indikator yang paling tepat saat kita bicara tentang growth. Tapi saya suka pakai rasio tersebut karena rasio ini membicarakan tentang balance antara risk and reward.
Tentang LDR BRIS dan BTPS
Acuan batas atas dan bawah LDR dari BI ini kan sebenarnya dibuat agar bank tidak ugal-ugalan dalam hal menyalurkan credit, dan tidak malas-malasan saja membiarkan uang mengendap yang bisa membuat ekonomi stagnant.
Karena BRIS dan BTPS sama-sama berada di dalam range 78% – 92%, keduanya, bisa dibilang, merupakan bank yang masih sehat.
Bedanya, BRIS lebih konservatif dalam hal penyaluran pembiayaannya. Bisa kita nilai kalau penyaluran pembiayaannya masih kurang optimal. Management harus lebih berani untuk ambil risiko lebih tinggi agar jumlah pembiayaan bisa meningkat. Di sinilah letak growth-nya!
BRIS sudah punya uang banyak (terutama dari tabungan Wadiah yang sangat massive dan gratis karena 0%. interest), tinggal bagaimana management membuat paket-paket menarik yang kompetitif agar pembiayaannya semakin diminati.
Sementara itu BTPS berada di batas atas, artinya agresif. BTPS berani menanggung risiko likuiditas yang lebih besar untuk profit yang juga lebih besar. Agar mampu meningkatkan pembiayaannya, BTPS harus bisa menaikkan DPK-nya juga agar risiko likuiditas terjaga.
Kemudian, soal kinerja penyaluran dana, tidak bisa semata-mata kita nilai dari rasio LDR karena rasio ini, sekali lagi, lebih condong ke risk and reward, dua hal tersebut. Saya menggunakan rasio LDR ini untuk mengilustrasikan room for growth.
Banyak rasio-rasio lain yang mungkin akan lebih akurat untuk menilai pertumbuhan suatu bank. Ada CASA, NPL, BOPO, NIM, NOM, CIR, ROA, ROE, dan masih banyak lagi!
Tentang Penulis
Shoffan M. adalah editor, pemilik tokokata.com, dan merupakan praktisi di Bursa Efek Indonesia. Lulusan sarjana S1 Akuntansi, penulis memiliki ketertarikan yang sangat tinggi terhadap perkembangan pasar modal dan investasi di Indonesia.
Disclaimer
Penyebutan nama saham (jika ada) tidak bermaksud untuk memberikan penilaian bagus buruk, atau pun rekomendasi jual beli atau tahan untuk saham tertentu. Tujuan pemberian contoh adalah untuk menunjukkan fakta yang menguatkan opini penulis. Kinerja masa lalu tidak menjadi jaminan akan kembali terulang pada masa yang akan datang.
Semua data dan hasil pengolahan data diambil dari sumber yang dianggap terpercaya dan diolah dengan usaha terbaik. Meski demikian, penulis tidak menjamin kebenaran sumber data. Data dan hasil pengolahan data dapat berubah sewaktu-waktu tanpa adanya pemberitahuan. Seluruh tulisan, komentar dan tanggapan atas komentar merupakan opini pribadi.