Analisis Potensi Saham BRIS Dari Kacamata Efisiensi Cost-to-Income Ratio (CIR)

Apa sih kelemahan $BRIS?

Kita pasti sudah sering mendengar tentang berbagai keunggulan emiten bank syariah terbesar di Indonesia, IDX:BRIS; mulai dari growth-nya, resiliensi-nya, sampai prospek kedepannya yang katanya cerah. 

Namun, kita jarang mendengar tentang hal-hal apa yang masih perlu ditingkatkan oleh management BRIS agar bank ini lebih kompetitif dan profitable. 

Dalam kesempatan ini, saya akan membahas tentang CIR atau Cost to Income ratio. Rasio ini merupakan salah satu indikator efisiensi sebuah bank. Semakin kecil persentase CIR, maka semakin efisien pula bank tersebut. 

Apa sih CIR itu? 

Simpelnya seperti ini:

Rasio CIR merupakan perbandingan antara biaya dan income suatu bank. Biaya yang dimaksud disini adalah pengeluaran yang timbul di luar biaya bunga. Dengan kata lain, CIR adalah rasio efisiensi biaya operasional yang bisa dikontrol oleh bank untuk menghasilkan pendapatan.

Perhitungan CIR tidak memasukkan beban bunga yang merupakan cerminan dari suku bunga simpanan perbankan. Besarnya suku bunga simpan tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal di luar kendali bank, antara lain inflasi, kebijakan moneter (BI rate), dan kebijakan lembaga lain (misalnya LPS rate). Jadi, boleh kita sebut kalau CIR merupakan rasio efisiensi biaya overhead.

Karena rasio CIR tidak memasukan beban bunga (yang berada diluar kendali bank), rasio ini benar-benar mencerminkan efisiensi operasional internal bank.

CIR berbeda dari rasio BOPO karena rasio BOPO menyertakan biaya bunga.

Bagaimana kondisi CIR BRIS?

CIR BRIS termasuk tinggi. 

Menurut data tahun 2022, BRIS memiliki CIR sebesar 51.01%. Sedangkan rata-rata industri perbankan hanya berada dikisaran 42.72%. Selain itu, jika kita bandingkan dengan Big 4 Himbara yang CIR-nya berada di bawah 40%, CIR BRIS ini memang tergolong tinggi.

Chart tentang efisiens BRIS. Sumber: Presentasi Analyst Meeting BSI Q1 2023

Artinya, BRIS masih tergolong belum efisien dalam hal mengelola overhead cost-nya.

Lho kok CIR BRIS tinggi?

Kita sering lupa kalau BRIS ini adalah bank yang baru. Setelah menyelesaikan merger di tahun 2021 lalu, saat ini BRIS baru memasuki tahun ketiga!

Tentu banyak pengeluaran yang timbul setelah merger sebagai upaya untuk mengkonsolidasikan account-nya yang jumbo. Bank yang baru lahir ini tentu juga membutuhkan biaya rebranding, administrasi, infrastruktur, dan overhead lainnya dalam jumlah yang besar.

Jadi bisa dipahami kalau CIR BRIS berada dilevel yang tinggi.

Lalu, apakah BRIS ini merupakan bank yang tidak efisien? 

CIR BRIS dari tahun-ketahun semakin menurun. Sebelum merger, CIR BRIS berada di kisaran 53%.

Kemudian setelah merger, CIR BRIS turun ke kisaran 52% di tahun 2021 dan 51% di tahun 2022.  Lalu, di Q1 2023, CIR BRIS mengalami penurunan drastis, menjadi 46.91%.

Walaupun masih berada diatas rata-rata industri, terlihat bahwa management BRIS mampu melakukan efisiensi! 

Hal apa saja yang telah dilakukan oleh management BRIS untuk menurunkan CIR-nya?

Setelah merger, BRIS memiliki 1,244 cabang. Namun tidak semua cabang BRIS ini efisien. Management melalukan penutupan cabang-cabang yang tidak produktif dalam upaya untuk meningkatkan efisiensinya.

Menurut data Q1 2023, BRIS memiliki 1,031 cabang. Walaupun ada ratusan cabang yang ditutup, net income BRIS justru naik dari tahun ke tahun. Rasio net income per cabang naik dari 2.43 di tahun 2021 menjadi 5.66 di tahun 2023 (Q1)!

BRIS mampu menurunkan overhead-nya (tanpa mengganggu profitabilitasnya) dengan menutup cabang yang kurang produktif sehingga CIR-nya turun.

Jadi walaupun CIR BRIS relatif masih tinggi, kita bisa melihat ada peningkatan efisiensi dari tahun ke tahun.

Kendala apa yang mungkin akan dihadapi oleh management BRIS dalam proses meningkatkan efisiensi? 

Pada bulan Mei lalu, BRIS mengalami black out total selama kurang lebih 3 hari akibat dari cyber attack. Sistem recovery tentunya akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

BRIS juga mengeluarkan kurang lebih Rp580 miliar (dan sangat memungkinkan akan ditambah) untuk capex dalam rangka meningkatkan kemampuan IT-nya.

Selain itu, BRIS juga mengalami penurunan DPK akibat sistem blackout tersebut. Banyak nasabah yang menarik tabungannya keluar dari BRIS (terlihat dari penurunan tabungan Wadiah yang cukup signifikan dalam laporan keuangan Mei 2023). Untuk mengembalikan level DPK-nya, tentu BRIS membutuhkan peningkatan biaya promosi agar nasabah yang keluar mau kembali menabung di BRIS lagi.

Management BRIS memiliki target untuk menurunkan CIR-nya dibawah 40%. Namun, hal-hal di atas bisa menjadi penghambat efisiensi biaya BRIS! Apakah management akan mampu menghadapi tantangan ini? Mari kita simak!

Tentang Penulis

Shoffan M. adalah editor, pemilik tokokata.com, dan merupakan praktisi di Bursa Efek Indonesia. Lulusan sarjana S1 Akuntansi, penulis memiliki ketertarikan yang sangat tinggi terhadap perkembangan pasar modal dan investasi di Indonesia.

Disclaimer

Penyebutan nama saham tidak bermaksud untuk memberikan penilaian bagus, buruk, atau pun rekomendasi jual, beli, atau tahan untuk saham tertentu. Tujuan pemberian contoh adalah untuk menunjukkan fakta yang menguatkan opini penulis. Kinerja masa lalu tidak menjadi jaminan akan kembali terulang pada masa yang akan datang.

Semua data dan hasil pengolahan data diambil dari sumber yang dianggap terpercaya dan diolah dengan usaha terbaik. Meski demikian, penulis tidak menjamin kebenaran sumber data. Data dan hasil pengolahan data dapat berubah sewaktu-waktu tanpa adanya pemberitahuan. Seluruh tulisan, komentar, dan tanggapan atas komentar merupakan opini pribadi.

Leave a Comment